RSS

Membangun kompetensi profesi manajemen proyek

Membangun Kompetensi Profesi Manajemen Proyek


Manajemen proyek. Mendengar istilah ini mungkin Anda punya banyak penafsiran. Ada yang menghubungkannya sebagai bagian dari disiplin ilmu sipil (civil engineering). Atau, ada yang malah alergi dengan kata “proyek”, seperti halnya konotasi negatif “memproyekkan” kegiatan-kegiatan di pemerintahan. Padahal, definisi proyek sebenarnya dibuat untuk membedakannya dari operation.

Menurut Project Management Institute, proyek adalah kegiatan/usaha bersifat sementara yang dilakukan untuk menciptakan produk atau jasa yang unik. Hal yang cukup spesifik dari karakteristik proyek adalah sifatnya yang sementara, bukan kegiatan rutin dan berulang (repetitive). Dan menurut A Guide to the Project Management Body of Knowledge, proyek setidaknya dapat dilihat dan dikelola dari 9 subdisiplin pengetahuan/manajemen yakni: manajemen lingkup pekerjaan, manajemen waktu, manajemen biaya, manajemen kualitas, manajemen SDM, manajemen komunikasi, manajemen risiko, manajemen procurement, dan manajemen integrasi. Seluruh bagian disiplin ilmu ini saling terkait satu sama lain, sehingga penguasaan dan penererapannya sangat penting artinya bagi kesuksesan proyek.
Apa istimewanya manajemen proyek? Hal penting yang turut membuat orang mulai melihat pentingnya disiplin ilmu ini adalah ketika bangsa Amerika mengalami kegagalan serius di megaproyek mereka. Tepatnya, kalimat yang kini menjadi terkenal: “Houston we have a problem.” Kalimat yang diucapkan awak Apolo 13 yang gagal, membuka mata NASA atas pentingnya manajemen proyek. Sebelumnya, mereka hanya menekankan masalah teknis dan agak mengabaikan masalah yang sifatnya human (manajemen). Tonggak sejarah inilah yang mengawali perkembangan manajemen proyek yang notabene banyak dimulai dari dunia industri konstruksi (civil engineering). Namun, apakah manajemen proyek hanya relevan untuk proyek konstruksi?

Pelajaran lain yang cukup menarik datang dari dunia industri teknologi informasi (TI). Standish Group pada 1998 menerbitkan laporan yang mereka sebut Chaos Theory. Isinya cukup mencengangkan, bahwa proyek-proyek TI yang dinyatakan sukses pada 1998 hanya 26%. Sisanya masuk kategori challenged (yang artinya overtime dan overbudget) atau bahkan masuk kategori gagal (failed). Yang menarik, dalam telaah yang lebih intens ternyata faktor terbesar penyebab kegagalan (86%) bukanlah masalah teknis, tapi lebih pada faktor manajemen, dalam hal ini manajemen proyek.

Inilah yang patut dicermati sehingga dalam perkembangan industri TI (atau secara umumnya industri teknologi komunikasi informasi), manajemen proyek menjadi salah satu disiplin yang berkembang paling pesat dan memperoleh perhatian sangat serius. Tak terkecuali di Indonesia.

Di negara kita, kepopuleran sertifikasi manajer proyek profesional boleh jadi dipicu permintaan industri minyak dan gas. Dalam industri yang berisiko tinggi ini, kompetensi pekerja tidak dapat ditawar lagi, sehingga wajarlah sejumlah sertifikasi tertentu - sertifikasi pengelasan (welder), sertifikasi instalator listrik, dan lain sebagainya - menjadi persyaratan mutlak. Para pekerja lokal mau tidak mau bersaing dengan rekannya dari berbagai negara. Demikian halnya profesi manajemen proyek. Sertifikasi profesi menjadi hal yang dipandang penting sebagai salah satu aset dalam menunjukkan tingkat profesionalitas seseorang.

Dari sekilas pengamatan plus pengalaman penulis atas penerapan asas-asas manajemen proyek yang baik dan benar di sejumlah kegiatan masyarakat, rupanya pemahaman atas manajemen proyek belum menjadi bagian yang mendapat perhatian memadai. Walaupun saat ini paling tidak ada dua organisasi yang membidangi profesi manajemen proyek (PMI Chapter Indonesia dan Ikatan Ahli Manajemen Proyek Indonesia), kesadaran masyarakat (baik secara individual maupun institusional) atas pentingnya manajemen proyek menurut penulis masih rendah. Salah satu kasus yang mungkin menarik didiskusikan, misalnya aspek manajemen risiko atas sistem TI yang dimiliki KPU pada Pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu.

Aktivitas penghitungan suara yang menggunakan bantuan sistem TI sempat menjadi sorotan ketika banyak kendala muncul. Walau sebagian besar kendala adalah pada faktor manusia (pemasukan data dari lapangan), hal ini tidak boleh dipandang secara sepotong-sepotong. Memang tidak salah bila ada yang menganggap masalah yang muncul merupakan salah satu kekurangan dari penerapan teknologi itu sendiri, sehingga perlu dilakukan audit terhadap sistem TI. Namun yang dikhawatirkan, audit hanya menyoroti dari sisi teknologi, padahal permasalahan yang lebih luas dapat saja terjadi di luar kemampuan teknologi.

Menggunakan pendekatan audit manajemen proyek, proses audit dapat dilihat dari berbagai sudut pandang sesuai dengan 9 dimensi disiplin yang ada dalam manajemen proyek. Dari sisi manajemen risiko, misalnya. Pihak pelaksana proyek dapat menjelaskan: Strategi apa saja yang telah dimiliki jika terjadi hal-hal yang dirasa dapat mengganggu jalannya proyek; sudahkah faktor risiko diidentifikasi dan dianalisis (termasuk kemungkinan apa yang terjadi dan dampaknya terhadap kelangsungan proyek); bagaimana strategi yang digunakan jika terjadi risiko; langkah apa yang ditempuh untuk mengurangi kemungkinan ataupun dampak dari risiko itu; sudahkah memiliki rencana kontinjensi; bagaimana mengomunikasikan hal-hal ini kepada seluruh stakeholder atas risiko yang mungkin, sedang atau telah timbul, serta langkah-langkah yang ditempuh. Audit manajemen proyek, diyakini penulis dapat melihat permasalahan yang timbul di KPU dengan lebih komprehensif dan kontekstual.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: