RSS

manfaat dari e-Business

Evolusi Paradigma Ekonomi dan Peran ICT

Paradigma ekonomi selalu terjalin erat dengan perkembangan sosial budaya masyarakat dan teknologi dominan yang mewarnai kehidupannya. Proses yang melibatkan teknologi ke dalam masyarakat secara luas akan memunculkan suatu model pemvisian masa depan secara bersama-sama. Sebagai contoh, Internet telah berhasil secara luas diterima sebagai bagian dari kehidupan moderen. Di kalangan tertentu, hal itu memunculkan apa yang disebut dengan new economy, sebagai kontribusi dari era ekonomi informasi yang menambahkan nilai nir-batas (borderless), transparansi, free-trade, real-time, dan demokratisasi pada ekonomi sebelumnya.

Namun, karena perubahan era new economy lebih banyak diwarnai oleh eforia bisnis dot.com, maka istilah ini mulai ditinggalkan dan sebagian kalangan lebih memilih istilah real-economy, yaitu nilai-nilai old economy yang diperkuat oleh adanya teknologi informasi dan komunikasi (ICT – Information and Communication Technology).

Mari kita tengok proses transformasi nilai dari paradigma ekonomi dan peran ICT dalam sejarah peradaban manusia ditinjau dari dua aspek, yaitu: Kunci Perubahan (key determinant) dan Alat Tukar (exchange media) dimulai dari jaman purba atau tradisional. Pada awalnya, ekonomi dimulai dari Era Manfaat Langsung (direct benefit), dimana sumber daya yang diberikan alam langsung dimanfaatkan oleh manusia. Misalnya ketika manusia lapar, maka buah dan sayuran yang ada di hutan langsung dimakan, tanpa diolah lebih lanjut. Pada era ini belum ada alat tukar.

Era berikutnya memunculkan Era Nilai Barang (goods value), dimana orang sudah mampu melihat bahwa hasil alam dapat saling dipertukarkan. Masyarakat, pada saat itu, mulai melakukan produksi dengan berkebun atau mengelola ladang menggunakan teknologi yang lebih baik untuk nanti hasilnya ditukarkan dengan komoditas lain, misalnya kayu bakar ditukar dengan buah-buahan. Yang menarik, pada Era Nilai Barang, nilai manfaat langsung mulai mengecil. Misalnya, satu tandan pisang ditukar dengan sepuluh batang kayu. Disini terlihat bahwa manfaat langsung pisang menjadi tidak lagi dominan, karena nilainya sudah berganti menjadi kayu. Di masa ini mulai dikenal istilah barter, uang, dan emas sebagai alat tukar.

Evolusi berikutnya adalah transformasi dari Era Nilai Barang ke Nilai Ekonomi (economic value). Pada era ini, suatu barang atau komoditas nilainya bisa berbeda-beda tergantung di mana dia diperoleh. Hal itu karena kunci perubahan menambahkan aspek distribusi, selain aspek produksi. Buah salak Bali di petani dengan buah salak Bali yang sudah sampai di supermarket di Jakarta, harganya jauh berbeda. Kita lihat pada Era Nilai Ekonomi, nilai barang semakin mengecil, dan begitu juga nilai manfaat langsungnya.

Selanjutnya, Era Nilai Ekonomi berubah pada sekitar tahun 40-an dengan mulai diperkenalkannya sistem nilai baru, yaitu Nilai Pasar Saham dan Nilai Pasar Uang. Faktor perubahannya adalah adanya pasar modal dan pasar uang. Pada era ini, suatu usaha produksi barang atau jasa dikapitalisasi dengan adanya penjualan saham perusahaan. Nilai ekonomi, nilai barang dan nilai manfaat langsung menjadi tidak signifikan. Sebagai contoh, TELKOM yang mengelola layanan telepon sekitar 8,2 juta pelanggan kalah nilainya dibandingkan perusahaan telekomunikasi Singapura, SINGTEL, yang hanya mengelola 3,5 juta pelanggan. Lebih tidak masuk akal lagi adalah setelah alat tukar, yaitu mata uang, menjadi komoditas yang diperjualbelikan, tiba-tiba komoditas Indonesia yang sama dengan di negara lain, nilai jualnya anjlok menjadi seperempatnya dalam mata uang Dolar daripada nilai sebelumnya.

Perkembangan terakhir makin menunjukkan kesenjangan antara Information have dan Information don’t have. Hal ini karena baik pasar uang, pasar modal, maupun pasar komoditas pada dasarnya dikuasai oleh mereka yang memiliki jaringan informasi. Saat ini dan kedepan, paradigma ekonomi akan masuk ke era yang disebut Era Systemic Value. Yaitu, bahwa daya saing ekonomi kedepan adalah dari kemampuan kita membangun kolaborasi dan networking yang saling memperkuat atau interdependen dalam suatu kesisteman (collaborative advantages). Persaingan tidak lagi terjadi antar negara, tetapi antar korporasi berikut jaringan mitra strategisnya. Tanpa keunggulan systemic value mustahil kita dapat bersaing dan mampu mengatasi turbulensi ekonomi.

Untuk itu, kita mesti belajar dari negara-negara seperti Cina, Taiwan, dan Korea yang mampu menggalang systemic value dari industrinya yang bernilai tambah mulai dari raw material, produk setengah jadi, sampai produk jadi membentuk struktur rantai nilai tambah Business-to-Business-to-Customer (B2B2C). Teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang efektif melalui penerapan e-Business, e-Government, e-Citizen, dan e-Law merupakan infrastruktur mutlak terwujudnya systemic value yang tangguh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: